Kita semua ingat pada penghujung Januari 2012 bahwa negara Jerman
mengeluarkan proposal atas nama Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) kepada
negara Yunani yang mengalami kesulitan ekonomi dalam negerinya sehingga
“sovereign debt” atau surat hutang negara mereka berstatus default.
Proposal yang bocor ke hampir seluruh media di Eropa waktu itu
menggegerkan politik masing-masing anggota MEE. Karena proposal itu
berisi kesediaan MEE (dalam hal ini Jerman dan Perancis) bersedia
memberi dana talangan atau “bail out” kepada Yunani asal segala
pengeluaran dan penerimaan atau budget negara Yunani sepenuhnya akan di
control oleh MEE (atau kedua negara tadi).
Yunani waktu itu secara
resmi mengeluarkan sikap bahwa Yunani menolak proposal tersebut karena
ini menyangkut Kedaulatan Negara yang tidak bisa ditawar, tambahan pula
proposal itu juga memancing rasa nasionalisme yang tinggi di negeri ini.
Tapi Pemerintah Yunani berada di persimpangan jalan antara menjaga
kedaulatan negerinya dan menerima bail out. Kalau tidak diterima dana
talangan itu maka perekonomian Yunani akan bertambak kolap, dan
demonstrasi mahasiswa, buruh, guru, dokter, para pensiunan dan
sebagainya akan bertambah marak dan mengganggu kestabilan negeri itu.
Kalau diterima, maka kedaulatan negaranya untuk mengatur pendapatan dan
pengeluaran negaranya sepenuhnya di “atur” oleh negara lain.
Krisis
Yunani dimulai pada tahun 2009, sebagai akibat dari krisis keuangan
global tahun 2008 yang dimulai dengan kolapnya perekonomian AS karena
“Subprime Mortgage”. Sejak lama pemerintah Yunani di jaman pemerintahan
George Papandreou yang dipilih tahu 2009 di ketahui bahwa pemerintah
sebelumnya meninggalkan deficit anggaran sebesar 6% dari GDP nya. Namun
pada kenyataanya deficit itu adalah lebih tinggi yaitu 12.7% dari GDP.
Pengumuman
resmi tentang sebenarnya angka deficit itu mengejutkan para investor
yang memiliki saham-saham hutang pemerintah Yunani. Misalkan Perancis,
Inggris dan Jerman memiliki lebih dari USD$ 56 milyar saham berupa surat
hutang Yunani. Akhirnya pasar modal di Eropa dan di dunia mulai menurun
confidence atau kepercayaan pada surat berharga atau saham pemerintah
Yunani dan di anggap default atau tidak mampu membayar hutang pada para
investor. Efek domino terjadi sampai sekarang, negara-negara anggota MEE
satu demi satu berguguran perekonomiannya misalnya Irlandia, Spanyol,
Itali dan di khawatirkan merembet ke negara anggota yang ekonomi besar
seperti Jerman dan Perancis.
Pelajaran dari Yunani ini, menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia
yang pernah berhutang pada banyak negara, dan lembaga keuangan dunia
seperti IMF dan Bank Dunia. Semua kebijakan ekonomi Indonesia harus
“tunduk patuh” pada negara yang memberi hutang. “No Free Lunch” begitu
kalimat yang umum kita dengar yang bermakna tidak ada sesuatu yang
gratis atau Cuma-Cuma itu.
Hutang luar negeri Indonesia dulu
pernah mencapai sekitar USD 145 milyar dan Indonesia masih untung tidak
seperti Yunani, karena bisa membayar hutang itu dengan baik. Sekarang
hutang luar negeri Indonesia naik menjadi sekitar USD 180 milyar. Saya
sering menulis angka hutang ini dihadapan para mahasiswa saya, misalkan
180 milyar itu angka ’0′-nya sembilan yaitu: 180.000.000.000,
dan ini belum US dolar, saya katakan pada mahasiswa kalau kita patok 1
US dolar sama dengan Rp 10.000 (supaya gampang perkaliannya), maka angka
hutang itu terlihat: Rp. 1.800.000.000.000.000!. Lalu saya suruh
mahasiswa membacanya. Sebagian besar komat-kamit tidak bisa
menyebutkannya.
Memang Presiden SBY pernah menjelaskan didepan
para wartawan bahwa meskipun hutang luar negeri kita itu naik, akan
tetapi rasionya terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) menurun. Beliau
menjelaskan benar bahwa hutang luar negeri kita menjadi Rp 1.816
trilliun tahun 2011, tapi PDB kita Rp 7.222 trilliun. Jadi rasio hutang
terhadap PDB kecil. Dibanding sebelumnya rasio hutang kita hampir
mencapai 50% dari PDB.
Akan tetapi, meskipun angka hutang luar
negeri yang meningkat itu masih dianggap “Aman”., ada baiknya bangsa ini
tidak terperangkap dengan mindset seperti itu, karena apapun namanya
hutang itu maka persoalan Kedaulatan Negera harus juga diperhitungkan.
Dan lagi pula tidak ada negara manapun di dunia ini yang kaya karena
hutang.
SUMBER berita.plasa.msn.com
Oleh: Ahmad Cholis Hamzah, MSc*)
*) Alumni University of London, dan Universitas Airlangga dan sekarang dosen di STIE PERBANAS Surabaya.
No comments:
Post a Comment